Kadang seorang menjadi sombong bukan dengan harta dan pangkat, akan tetapi sombong dengan amal baik dan akhirat. Sedikit memahami ilmu hadits, berikut riwayat dan syarahnya merasa dirinya lebih hebat dari orang lain. Sehingga dengan mudahnya seseorang menyalahkan orang lain dan berkata “Mereka itu orang-orang bodoh tidak mengerti hadits seperti aku “.
Yang faham tentang fiqih, dengan lancangnya mengomentari orang lain dengan nada merendahkan, “Kasihan mereka itu orang bodoh dan tidak mengerti fiqih seperti aku”. Sedikit menghafal al Qur’an, lalu dengan mudahnya meremehkan orang lain dan berkata “Mereka orang-orang bodoh yang tidak hafal al Qur’an seperti aku”. Terjun di dunia da’wah mulai banyak pengikut dan pengagumnya lalu mereka merasa bahwa ia telah melakukan suatu tugas besar, kemudian mulai menghinakan dan merendahkan yang lainnya dan berkata “Kasihan mereka itu pada tidak bergerak di dalam da’wah seperti aku” atau “cara berdakwah mereka tidak sehebat caraku”. Yang sudah bisa bangun malam, bertahajud, melakukan puasa, lalu memandang orang lain dengan picik dan rendah lalu berkata “Kasihan mereka punya ilmu, tetapi tidak pernah bangun malam seperti aku.”, “Tidak pernah berpuasa seperti aku!” dan seterusnya.
“Aku” yang dibesarkan, “Aku” yang diagungkan. Tidak tahu kalau makhluk pertama yang mengagungkan ke-Aku-annya adalah iblis, saat berkata “Aku lebih baik dari manusia”. Sungguh, semestinya seseorang tidak akan sombong dengan akhirat. Seharusnya seseorang tidak bisa sombong dengan ketaatannya dan keistiqomahan. Jika ada yang sombong dengan hafalan Al-Qur’annya atau sedikit ilmu fiqihnya atau kiprahnya di dunia dakwah, hal itu disebabkan karena adanya sesuatu yang salah di dalam mereka menjalani ketaatan. Yang telah melakukan sebuah amal kebaikan lalu meremehkan orang lain maka semestinyalah ia segera koreksi amal-amal tersebut. Bisa jadi karena telah ada riya di dalam beramal (pamrih yang selain Allah). Barangkali karena ketidakmengertian akan hakekat sebuah amal kebaikan. Mungkin saja kecintaannya kepada pangkat dan dunia telah melalaikan akan maksud sebuah ilmu dan amal.
Sebuah kelompok atau seseorang yang tersesat dalam ilmu dan amalnya akan ditandai dengan kesombongan akan ke-Aku-annya dan begitu mudahnya meremehkan yang lainnya. Maunya menyalahkan, memfitnah dan menggunjing kelompok atau orang lain. Atau paling tidak akan menyimpan kebencian kepada yang lainnya atau adanya kegembiraan tersembunyi jika ada musibah menimpa orang atau kelompok lain. Tiada sapa, teguran beradab, prasangka baik dan upaya indah untuk menjadikan yang lainnya baik.
Sebaliknya, ahli ilmu dan amal baik yang sesungguhnya dan ahli istiqomah yang tulus akan semakin tawadhu’ dan merendah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Yang telah mempunyai ilmu dengan ketulusan akan selalu melihat orang lain yang terjerumus dengan mata kasih dan rindu untuk bisa menolongnya. Senantiasa memohon kepada Allah agar dirinya menjadi sebab baiknya orang lain, agar pintu hidayah segera dibukakan untuknya. Kepada orang yang berilmu lainnya akan sangat menghargai dan mencintainya. Jika ada yang berhasil dari mereka ia akan berbangga dan bersyukur. Dan disaat melihat orang lain yang berilmu belum terlihat berhasil atau prestasinya di bawah keberhasilannya akan ia bantu dan perjuangkan agar bisa maksimal dalam keberhasilannya.
Pernahkah disaat Allah memuliakan kita dengan hafalan Al-Qur’an atau ilmu fiqih atau ilmu hadits atau kemudahan dalam berdakwah lalu kita senantiasa takut jika ini semua menjadi tidak bermanfat dan tidak diterima oleh Allah? Dan alangkah sia-sianya usaha kita jika buah ilmu kita tidak bisa kita petik di akhirat. Alangkah mengerikannya jika gelar Ustad, Kiai, Orang soleh, Penghafal Al-Qur’an, Ahli fiqih, Ahli hadits dan lain sebagainya hanya kita peroleh di dunia, sementara di akhirat kita didustakan dan ditolak gelar-gelar tersebut oleh Allah SWT.
Pernahkah kita merenung, apakah ilmu dan amal yang diberikan oleh Allah kepada kita telah menjadikan kita semakin dekat dan takut kepada Allah atau justru kita bertambah kurang ajar dan jauh dari Allah? Pernahkah kita berfikir apakah amal dan ilmu kita menjadikan kita semakin mesra, indah dan saling mencintai kepada sesama? Adakah rasa kasih dan sayang terpancar dari ilmu kita disaat kita melihat saudara kita yang terjerumus dalam nistanya kemaksiatan?.Atau justru amal dan ilmu tersebut telah menjadikan kita semakin sombong, memandang picik dan menghinakan mereka? Sudahkah kita insyaf untuk menjadi hamba yang beruntung yang senantiasa berfikir bagaimana amal dan ilmu kita bisa diterima oleh Allah? Atau justru gebyar keberhasilan ilmu dan amal kita hanya menjadikan kita orang yang selalu berfikir bagaimana berilmu dan beramal saja tanpa ada kerinduan kepada Allah? Dan pernahkah selama ini kita berfikir untuk merenungi ini semua?.
Wallahu a’lam bisshowab
Oleh : Buya Yahya (Pengasuh LPD Al-Bahjah)
www.buyayahya.org – www.buyayahya.net – www.albahjah.tv
Komentar
Posting Komentar